Bunga Kering Perpisahan
- Pandangan ini didasarkan pada ayat-ayat al-Quran: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221). Dan ayat: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
- Banyak pasangan selebriti yang menikah secara beda agama seperti Katon Bagaskara dan Ira Wibowo, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen, Jamal Mirdad dan Lydia Kandau, Yuni Shara dan Henri Siahaan (sudah bercerai), Glenn Fredly dan Dewi Sandra (sudah bercerai), Dedi Kobusher dan Kalina, Frans dan Amara, Sony Lauwany dan Cornelia Aghata.
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 menetapkan bahwa perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah haram hukumnya.
- Ada keterangan bahwa Nabi Muhammad pernah menikah dengan Maria Qibtiyah, seorang perempuan beragama Kristen Koptik Mesir dan Sophia yang beragama Yahudi. Para sahabat seperti Usman bin Affan menikah dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah menikah dengan perempuan Yahudi di Madian. Para sahabat lain, seperti Ibn Abbas, Jabir, Ka’ab bin Malik, dan Al-Mughirah bin Syu’bah juga menikah dengan perempuan-perempuan ahli kitab. Keterangan ini disampaikan oleh Prof. Musdah Mulia, Prof. Kautsar Azhari Noer, dan Prof. Zainun Kamal dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar Yayasan Paramadina pada 17 Oktober 2003, lihat laporannya “Tafsir Baru atas Nikah Beda Agama” dalam http://icrp-online.org/082008/post-17.html.
- Hukum pernikahan di Indonesia diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Dalam Pasal 2 ayat 1 UUP dinyatakan: “(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Untuk melindungi hak dan kewajiban suami-istri, perkawinan harus dicatat oleh lembaga yang berwenang. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP No 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 2 PP No. 9/1975 disebutkan, apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat dari Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (KCS).
- Pernikahan artis Katon Bagaskara (Kristen) dan Ira Wibowo (Muslim) dianggap sah secara hukum positif. Dan bisa memperoleh surat keterangan dari Kantor Catatan Sipil. Pasangan selebriti lainnya Ari Sihasale (Katolik) dan Nia Zulkarnaen (Islam) menikah di Perth, Australia. Pernikahan mereka disahkan oleh petugas Department of Birth, Date and Marriage Perth, setara dengan Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Ketika mereka melaporkan perkawinannya ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia ternyata perkawinan mereka juga dianggap sah. Petugas di KCS mengatakan bahwa apa yang dilakukan Ari dan Nia tidak melanggar undang-undang, dan telah diatur dalam Pasal 56 Ayat (1) UU Perkawinan: “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara 2 orang WNI atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan UU ini”. Lihat, “Nia-Ale Menikah di Kebun Bunga Nan Indah”, http://nostalgia.tabloidnova.com/
articles.asp?id=2446
/1/
Di
nisan suaminya
Ia
taburkan melati dan kenanga
Sambil
melafalkan doa
Perempuan
itu Dewi namanya.
Terbius
rasa pedih
Ia
mohon ampun dengan suara lirih
Segala
yang di dadanya terasa berat,
Segala
yang di sekitarnya semakin pekat.
Sepuluh
tahun sudah ia hidup
Bersama
Joko, suami pilihan Ayah
Perkawinannya
selalu redup
Maafkan aku, suamiku, tangis Dewi.
Sepuluh tahun lamanya sudah
Kita menikah –
Tapi tak mampu jua aku mencintaimu.
Sudah kuberikan segalanya padamu
Tapi rupanya bukan engkau milik hatiku.
Bukan engkau inti angan-anganku.
Joko, apa dayaku?
Ditaburkannya
bunga sekali lagi
Sambil
menelusuri isi hati,
Izinkan kuserahkan sisa hidup ini
Kepada lelaki yang kucintai.
Kini kau di alam baka –
Setelah sepuluh tahun yang tanpa warna,
Baru sepenuhnya mataku terbuka:
Cinta memang tidak bisa dipaksa.
/2/
Di
kamarnya yang sunyi
Dewi
membuka almari;
Diambilnya
sebuah kotak kecil berwarna nila
Yang
sejak menikah tak pernah disentuhnya.
Dengan
gemetar kotak dibukanya:
Mawar
kering itu masih di sana;
Terbayang
olehnya Albert, kekasih hatinya,
Dan
tersengat jiwanya oleh kisah lama.
Seolah
didengarnya kata pemuda itu
Di
saat perpisahan sepuluh tahun lalu,
Simpan bunga kering ini, Dewiku,
Sampai kau terbebas dari belenggu.
Kalau sampai waktunya nanti,
Kalau kita memang jodoh sejati,
Kirimlah bunga ini padaku kembali
Dan aku akan datang padamu. Aku janji!
/3/
Tahun
delapan puluhan –
Mereka
kuliah, satu angkatan;
Bersahabat?
Tak usah ditanya.
Cinta?
Nanti dulu, agama berbeda.
Dewi
sejak awal merasa
Albert
lelaki istimewa,
Tapi
Dewi seorang Muslimah
Sedangkan
Albert anak pendeta.
Pemuda
itu selalu berkata,
Aku suka ke gereja, tapi tak pasrah buta
Pada satu agama;
Aku hanya ingin menyadap intinya.
Sering
disampaikannya kepada gadis itu
Segala
yang dengan baik dikuasainya
Dari
pengalaman, dari buku –
Dan
Dewi tak pernah bosan mendengarnya.
Umat manusia, ujar Albert,
Sudah lebih dari 150 ribu tahun umurnya;
Berturut-turut agama pun diturunkan,
Diwartakan, dipertengkarkan.
Manusia lebih tua dari agama
Sudah ada cinta sejak manusia diciptakan-Nya,
Cinta lebih tua dari agama,
Janganlah agama mengalahkan cinta.
Begitulah
Albert, itulah logikanya.
Namun,
di balik pikirannya yang liar kedengarannya
Albert
adalah pemuda yang suka menolong sesama
Lembut
hatinya.
/4/
Ia
kenal pemuda itu sejak kecil
Dari
desa terpencil
Sama-sama
hijrah ke Jakarta
Untuk
merebut cita-citanya.
Dulu,
semasa bocah
Pernah
mereka menyeberang sungai ke sawah
Melewati
jembatan bambu – tiba-tiba patah!
Dewi
tercebur, ya Allah!
Sigap
Albert melompat menolongnya
Sementara
kawan-kawan lain bengong, diam saja;
Ditariknya
Dewi, diseretnya melawan arus deras
Diangkatnya
ke tepi sungai – dibimbingnya rebah di teras.
Suatu
malam Dewi bermimpi:
Ia
dibonceng Albert bersepeda
Lepas
gembira melewati sawah dan bukit –
Inikah pertanda mulai bersemi cintanya?
Semakin
lama semakin deras perasaan sayangnya,
Tapi
sejak mula disadarinya juga:
Mereka
berlainan agama.
Siapa
gerangan yang akan mensahkan cinta remaja?1
Terbayang
olehnya
Pagar
pembatas itu: memanjang di selatan
Menghalang
di utara,
Di
barat, di timur, di kiri dan kanan.
Semakin
lama semakin dalam Dewi rebah
Dalam
pelukan Albert yang gagah
Tapi
ia tahu pasti
Perpisahan
tak akan bisa dihindari.
/5/
Waktu
yang diduga datang jua!
Dewi
duduk di hadapan ayahnya
Yang
dengan lugas dan tegas bicara
Tentang
hakikat cinta dan agama:
Aku sangat malu
Dan aku tak akan pernah mau
Menjadi orang tua
Yang kena murka Allah.
Aku tak akan tahan
Menjadi insan dilaknat
Hanya lantaran membiarkan
Anaknya menempuh Jalan Sesat!
Dan
ujung-ujungnya
Sampai
juga pesan utama:
Joko
pemuda santri ia perkenalkan
Sangat
cocok menjadi suami Dewi.
Tekad
Ayah bulat
Niatnya
pekat
Albert
harus dilupakan
Karena
Joko suami Dewi di masa depan.
Tak
sepatah kata terucap dari Dewi,
Bibirnya
terkunci.
Gadis
itu tertunduk, jiwanya berontak.
Tapi
pesan ayahnya? Tak bisa ditolak!
Teringat
ia akan masa kanak.
Tinggal
di sebuah rumah sederhana;
Ayah
kadang pulang larut.
Waktu
itulah ibunya suka bertitah,
Lihatlah baik-baik, Nak,
Kita bisa menikmati sore dan malam
Tapi ayahmu masih mencari nafkah — berjibaku
Kita ini bagaikan benalu!
Jangan sekali-kali kaudurhakai
Pohon perkasa, sandaran hidup kita,
Jangan pernah kauganggu nurani ayahmu.
Hidup
Ayah lurus rus rus rus,
Prinsip
agamanya kuat wat wat wat –
Kaku?
Beku?
Katanya
pada suatu hari,
Manusia diciptakan berpasangan;
Walau pemuda itu baik padamu
Tetapi ia lain agama.
Itu artinya
Ia bukan jodoh
Yang dikirim Allah
Untukmu!
Sejak
kecil ia tak boleh membantah Ayah
Hidupnya
selalu siap diperintah
Walau
kali ini permintaan Ayah berat
Ia
harus patuh bulat.
Aku akan menikah dengan Joko
Aku harus melupakan Albert
Bisa ataupun tidak
Aku harus bisa, gumam Dewi.
/6/
Dan
Albert? Ia berbeda;
Rumahnya
di atas angin
Baginya
agama sama saja,
Tetapi
menghadapi Dewi harus panjang nalarnya.
Benar,
katanya kepada dirinya sendiri,
Banyak
orang tidak peduli
Dan
mereka ikuti saja kata hati,2
Tapi
Dewi bukan selebriti!
Ia
temui para ahli Kitab
Dan
diketahuinya, masing-masing punya sikap.
Itu
haram mutlak! kata salah seorang
Sambil
menunjukkan hukum yang jelas dan tegas.3
Yang
lain bersikap sebaliknya
Berdasarkan
alasan yang juga mengena.4
Pemuda
itu terbuka mata
Tak
ada keseragaman ternyata.
Ada
pandangan yang menutup pintu kawin beda agama,5
Tapi
ada juga pandangan lain yang menerima.6
Wahai, apa makna semua?
Apa peduliku?
Mengapa aku harus tunduk pada aturan itu?
Bukankah cinta lebih tua dari agama dan
negara?
/7/
Namun
Dewi tetaplah seorang santri
Patuh
pada orang tua adalah tradisi
Cintanya
pada Albert yang mendalam
Sekuat
tenaga ia benam.
Joko
itu ternyata cerdas dan santun,
Siapa tahu hidup kami nanti bisa rukun.
Pikirannya
menerima lelaki itu
Ingin
dicobanya hidup baru.
Tapi
terhadap Joko mengapa hatinya seperti batu?
Dewi
diam terpaku.
Mengapa
pikiran dan hatinya tidak bersatu?
Dewi
mulai ragu.
Albert
selalu bergelora
Mampu
menggetarkannya sampai ke surga,
Tapi
Joko alim dan dingin
Hatinya
beku seperti patung lilin.
Pernikahan
pun berlangsung meriah
Demi Ibu dan Ayah, aku pasrah,
Akan kulupakan Albert, dan setia kepada suami,
Demikian
janji Dewi kepada dirinya sendiri.
/8/
Hari
silih berganti, tahun datang beruntun,
Keduanya
menjalani hidup yang tertuntun,
Joko
pegawai negeri biasa
Dewi
karyawan perusahaan swasta;
Hampir
tak pernah mereka bertengkar,
Kata
orang keluarga Dewi tenang.
Tapi kenapa hidupku ini hambar?
Kenapa Eros cinta pada Joko tidak juga
bertandang?
Di
benak Dewi bayangan Albert kerap melintas
Dan
rindunya memanas:
Terbayang
olehnya boncengan sepeda di pematang sawah,
Terbayang
sore yang lepas dan bunga merekah.
Kepada
malam yang sepi ia bertanya,
Apakah gejolak cinta hanya datang satu kali
saja
Dan itu hanya untuk cinta remaja?
Mengapa setelah menua
Getaran cinta tak lagi ada?
Mengapa rasa itu hanya mekar kepada Albert,
pacar masa remaja?
Mengapa tidak kepada Joko, suaminya?
Malam
yang sepi tak pernah menjawab pertanyaannya.
Tapi
Aku harus jadi Muslimah teladan
Patuh
pada suami,
Taat
pada orang tua,
Dan
bakti kepada agama.
Itu harga mati, tandasnya.
/9/
Bertahun-tahun
sudah mereka berkeluarga
Tak
juga lahir ada anak mereka;
Wahai,
Joko ternyata memiliki kelainan
Ia
tak bisa berketurunan.
Beberapa
kali ia jatuh sakit.
Awalnya
dianggap biasa saja
Semua
manusia lain mengalaminya:
Sakit
dan sehat seperti musim, datang dan pergi.
Namun,
di tahun kesembilan pernikahan
Sakit
Joko semakin berkepanjangan,
Semakin
parah –
Tubuhnya
tampak bertambah lemah.
Sebagai
istri yang berbakti
Dewi
memutuskan berhenti bekerja
Agar
bisa merawat suami
Dan
tinggal di rumah saja.
Tak
putus-putus juga Dewi berdoa
Agar
Joko kembali seperti sedia kala;
Meski
ia sadar sepenuhnya
Bahwa
itu bakti semata, bukan rasa cinta.
Dan
hari itu pun tiba juga akhirnya!
Vonis
dokter: Joko tak bisa bertahan lebih lama.
Dewi
pun mendadak merasa bersalah
Mengapa
di lubuk hatinya tetap ada masalah.
Dan
ketika suaminya harus pergi
Untuk
menjumpai Khalik,
Suatu
malam Dewi bertahajud.
Jiwanya
menangis, pikirannya ngelangut.
Ya Allah, ampunilah aku.
Segala cara telah kutempuh
Segala tenaga telah tercurah
Agar bisa menjadi
Istri yang baik, istri yang setia,
Tetapi mengapa tak kunjung terbit
Nafsu cintaku kepadanya?
Mengapa justru Albert yang selalu ada
Di pelupuk mata?
Ya Allah, aku telah gagal jatuh cinta
Kepada suamiku sendiri!
/10/
Setahun
sudah Dewi menjanda,
Ia
mulai banyak membaca.
Hidup
sebatang kara memaksanya menjadi baja
Ia
sudah kembali bekerja.
Ia
mulai lepas dari tradisi
Dihayatinya
hidup yang mandiri
Filsafat
dan sastra membentuk dirinya,
Ia
bukan Dewi yang dulu lagi.
Suatu
ketika
Ia
punya niat ke kampus
Untuk
melepas rindu
Masa-masa
mahasiswinya dulu.
Ia
duduk di taman yang dulu juga.
Suasana
sudah berubah
Tetapi
ada yang masih tinggal –
Masih
bisa dihirupnya.
Bangku
yang itu juga
Sudah
berubah warna.
Di
situ ia dulu masih sempat ketemu Albert
Sebelum
hari pernikahan, sepuluh tahun lalu.
Saat
itu senja mulai gelap
Mereka
sadar segera harus berpisah;
Di
pojok taman itu
Sambil
berjalan Albert berkata,
Jika kautinggalkan aku
Karena tak lagi mencintaiku,
Aku pasrah.
Jika kau menikah dengan lelaki lain
Karena kamu mencintainya,
Aku terima.
Tapi aku tahu, Dewi,
Bukan itu alasanmu meninggalkanku.
Kauhancurkan cinta kita
Demi baktimu kepada ayahmu.
Demi baktimu pada tafsir agama!
Ia
ingat magrib di taman itu.
Ia
menangis tanpa suara.
Tak
ada lagi yang bisa diusahakan:
Albert
harus merelakan perpisahan.
Sebelum
berpisah Albert menyerahkan
Sekuntum
mawar.
Di
pikirannya kata-kata itu masih melekat
Yang
kadang bisa membuat hari-harinya pekat.
Dewi, simpanlah mawar segar ini.
Pada waktunya nanti
Ia akan kering dan layu;
Apa yang akan terjadi
Tak akan bisa diduga
Kecuali nasib bunga ini.
Kita tak tahu masa depan.
Jika ternyata kau memang jodohku
Dan kelak telah siap untuk bersatu denganku,
Kirimlah bunga ini sebagai isyarat;
Aku akan segera menghampirimu –
Ini janjiku.
Aku percaya dalam hidup
manusia jatuh cinta hanya sekali saja
Cintaku sudah tunai untukmu.
Dewi
tidak bisa lain
Kecuali
diam saja,
Dan
sambil menundukkan kepala
Ia
bertanya apakah Albert akan menikah juga.
Aku akan menikah dengan petualanganku –
Gunung-gunung tinggi akan kutaklukkan
Akan kujelajahi bumi yang diciptakan-Nya
Dan akan kusampaikan pertanyaanku
Di puncak setiap gunung yang kudaki,
Tuhan, mengapa tak Kau-restui cintaku
Kepada sesama ciptaan-Mu
Hanya karena, ya Allah,
Hanya karena agama kami beda?
Padahal Kau jugalah yang menurunkannya.
Tersekat
tangis Dewi, dibawanya mawar itu,
Disimpannya
dalam sebuah kotak
Yang
akan menjaga rahasia abadi
Cintanya
kepada seorang laki-laki.
Cinta
sejatinya.
Cinta
hatinya.
Ya, Tuhan, perkenankan aku menikah;
Bimbinglah aku agar setia pada suami
Dan jangan biarkan aku
Membuka kotak ini lagi.
/11/
Namun,
apa yang tak berubah
Di
bawah langit?
Pada
suatu hari dibukanya juga
Kotak
itu: benar, mawar itu kering dan layu.
Tapi
masih diciumnya wangi baunya.
Seperti
gemetar mawar layu itu di tangannya,
Ke mana gerangan hidup ini mengarah?
Muncul
kembali bayangan yang sudah jadi arwah.
Di
seberang jendela: langit tak ada batasnya
Awan
masih tetap berkelana.
Kali ini biar kuturuti saja suara hati
Tiba sudah saatnya, berbakti kepada diri sendiri.
Ya, Allah, telah kuikuti lurus ajaran-Mu
Seturut tafsir orang tuaku;
Ayah dan Ibu, telah kuikuti pula keinginanmu
Menikah dengan lelaki yang bukan pilihanku;
Suamiku, telah kucoba melayanimu
Setia padamu sampai akhir hayatmu.
Kini tiba giliranku
Menjadi tuan bagi diri sendiri –
Izinkan aku mengikuti suara jiwaku,
Hanya tunduk pada titah batinku.
Dipandangnya
lagi mawar kering itu.
Sudah
tetap niatnya:
Akan
disampaikannya kembali ke pemiliknya
Secepatnya.
Ia pasti masih menunggu, pikirnya.
Langit
tetap yang itu juga
Yang
dulu mendengar janji kekasihnya:
Kapan
pun bunga itu dikirim kembali
Lelaki
itu akan siap menerimanya lagi.
Menakjubkan:
cinta ternyata terus bertahan
Melampaui
masa dan berbagai perbedaan;
Pernikahan
boleh dibatalkan
Tetapi
meski di dalam sekam, cinta tak padam.
Kepada
Ayah dan Ibu Dewi sampaikan niatnya
Untuk
kembali ke cinta lamanya.
Tapi
apa kata mereka berdua?
Lebih baik menjanda daripada kawin beda agama!
/12/
Namun,
sekarang ini Dewi berbeda,
Ia
tetap sayang orang tua
Ia
tetap saleh soal agama.
Tapi
sikap hidup? Kini ia tegak pada pendiriannya.
Ayah
menghalanginya sekuat tenaga,
Menikah beda agama hanya mengirimmu ke neraka!
Jawab
Dewi, Ayah ini zaman Facebook dan Twitter
Bukan era Siti Nurbaya!
Dunia sudah berubah
Bukan manusia untuk agama
Tapi agama untuk manusia
Bagi Ayah, beda agama itu masalah.
Bagiku tidak!
Ayah memang merawat fisikku sejak kecil.
Tapi jalan hidupku bukan punya Ayah!
Ayah
terkaget alang-kepalang.
Dewi
yang patuh sudah tiada,
Di
hadapannya berdiri Dewi yang berbeda
Betapa
dunia memang sudah berubah.
Hati
Dewi sudah bulat
Cintanya
pada Albert memanggilnya kembali;
Terbayang
era bocah
Ia
menemani Albert bermain layang layang di sawah.
Maka
diposkannya bunga itu ke alamat kekasihnya.
Hari
berganti hari, pekan berganti pekan,
Dewi
tertegun: mengapa tak kunjung ada jawaban?
Ya, ya, apakah janji sudah dilupakan?
Tibalah
juga sore tak terduga itu:
Seorang
ibu tua mengetuk pintu,
Dan
ketika dibuka,
Astaga! Ibunya Albert rupanya.
Dipeluknya
Dewi, disampaikannya berita itu.
Sejak kamu menikah,
Albert tak betah lagi di rumah.
Didakinya gunung demi gunung
Entah di negeri mana –
Seperti ada yang ingin dicarinya
Seperti ada yang ingin diprotesnya.
Dan setahun lalu aku mendapat berita
Albert, anakku laki-laki itu
Tak akan pulang kembali –
Ia
meninggal di sebuah gunung
Dan
dimakamkan di sana.
Suara
perempuan tua itu terbata-bata
Tapi
kuasa menahan air matanya.
Dan
Dewi? Ia menjerit sekuat-kuatnya
Sambil
memeluk ibu tua itu.
Ada pesannya, sambung ibu Albert,
Sebelum pendakiannya yang terakhir
Albert menitip surat
Yang hanya boleh disampaikan
Kalau kuntum mawar sudah kaukirimkan.
Tak
sabar dengan tangan gemetar
Dibukanya
surat itu,
Masih
dikenalinya tulisan tangan Albert –
Tetap
seperti dulu.
Dewi, tulis Albert,
Mungkin sudah kaukirim kembali
Bunga kering itu sekarang.
Tapi yang akan kauterima
Hanya surat ini.
Aku tak berniat mengingkari janji!
Aku sekarang mungkin di alam lain
Dan janjiku tetap seperti dulu:
Cintaku hanya untukmu
Yang tak sampai hanya karena kita beda agama.
Dipeluknya
surat itu
Diciumnya
hingga basah oleh air mata
Hatinya
menjerit
Melolong
sampai jauh, jauh sekali…
***
0 komentar: