Minggu, 26 Agustus 2012

Bunga Kering Perpisahan

    /1/
    Di nisan suaminya
    Ia taburkan melati dan kenanga
    Sambil melafalkan doa
    Perempuan itu Dewi namanya.
    Terbius rasa pedih
    Ia mohon ampun dengan suara lirih
    Segala yang di dadanya terasa berat,
    Segala yang di sekitarnya semakin pekat.
    Sepuluh tahun sudah ia hidup
    Bersama Joko, suami pilihan Ayah
    Perkawinannya selalu redup
    Karena Albert pilihan hatinya.
    Maafkan aku, suamiku, tangis Dewi.
    Sepuluh tahun lamanya sudah
    Kita menikah –
    Tapi tak mampu jua aku mencintaimu.
    Sudah kuberikan segalanya padamu
    Tapi rupanya bukan engkau milik hatiku.
    Bukan engkau inti angan-anganku.
    Joko, apa dayaku?
    Ditaburkannya bunga sekali lagi
    Sambil menelusuri isi hati,
    Izinkan kuserahkan sisa hidup ini
    Kepada lelaki yang kucintai.
    Kini kau di alam baka –
    Setelah sepuluh tahun yang tanpa warna,
    Baru sepenuhnya mataku terbuka:
    Cinta memang tidak bisa dipaksa.
    /2/
    Di kamarnya yang sunyi
    Dewi membuka almari;
    Diambilnya sebuah kotak kecil berwarna nila
    Yang sejak menikah tak pernah disentuhnya.
    Dengan gemetar kotak dibukanya:
    Mawar kering itu masih di sana;
    Terbayang olehnya Albert, kekasih hatinya,
    Dan tersengat jiwanya oleh kisah lama.
    Seolah didengarnya kata pemuda itu
    Di saat perpisahan sepuluh tahun lalu,
    Simpan bunga kering ini, Dewiku,
    Sampai kau terbebas dari belenggu.
    Kalau sampai waktunya nanti,
    Kalau kita memang jodoh sejati,
    Kirimlah bunga ini padaku kembali
    Dan aku akan datang padamu. Aku janji!
    /3/
    Tahun delapan puluhan –
    Mereka kuliah, satu angkatan;
    Bersahabat? Tak usah ditanya.
    Cinta? Nanti dulu, agama berbeda.
    Dewi sejak awal merasa
    Albert lelaki istimewa,
    Tapi Dewi seorang Muslimah
    Sedangkan Albert anak pendeta.
    Pemuda itu selalu berkata,
    Aku suka ke gereja, tapi tak pasrah buta
    Pada satu agama;
    Aku hanya ingin menyadap intinya.
    Sering disampaikannya kepada gadis itu
    Segala yang dengan baik dikuasainya
    Dari pengalaman, dari buku –
    Dan Dewi tak pernah bosan mendengarnya.
    Umat manusia, ujar Albert,
    Sudah lebih dari 150 ribu tahun umurnya;
    Berturut-turut agama pun diturunkan,
    Diwartakan, dipertengkarkan.
    Manusia lebih tua dari agama
    Sudah ada cinta sejak manusia diciptakan-Nya,
    Cinta lebih tua dari agama,
    Janganlah agama mengalahkan cinta.
    Begitulah Albert, itulah logikanya.
    Namun, di balik pikirannya yang liar kedengarannya
    Albert adalah pemuda yang suka menolong sesama
    Lembut hatinya.
    /4/
    Ia kenal pemuda itu sejak kecil
    Dari desa terpencil
    Sama-sama hijrah ke Jakarta
    Untuk merebut cita-citanya.
    Dulu, semasa bocah
    Pernah mereka menyeberang sungai ke sawah
    Melewati jembatan bambu – tiba-tiba patah!
    Dewi tercebur, ya Allah!
    Sigap Albert melompat menolongnya
    Sementara kawan-kawan lain bengong, diam saja;
    Ditariknya Dewi, diseretnya melawan arus deras
    Diangkatnya ke tepi sungai – dibimbingnya rebah di teras.
    Suatu malam Dewi bermimpi:
    Ia dibonceng Albert bersepeda
    Lepas gembira melewati sawah dan bukit –
    Inikah pertanda mulai bersemi cintanya?
    Semakin lama semakin deras perasaan sayangnya,
    Tapi sejak mula disadarinya juga:
    Mereka berlainan agama.
    Siapa gerangan yang akan mensahkan cinta remaja?1
    Terbayang olehnya
    Pagar pembatas itu: memanjang di selatan
    Menghalang di utara,
    Di barat, di timur, di kiri dan kanan.
    Semakin lama semakin dalam Dewi rebah
    Dalam pelukan Albert yang gagah
    Tapi ia tahu pasti
    Perpisahan tak akan bisa dihindari.
     
    /5/
    Waktu yang diduga datang jua!
    Dewi duduk di hadapan ayahnya
    Yang dengan lugas dan tegas bicara
    Tentang hakikat cinta dan agama:
    Aku sangat malu
    Dan aku tak akan pernah mau
    Menjadi orang tua
    Yang kena murka Allah.
    Aku tak akan tahan
    Menjadi insan dilaknat
    Hanya lantaran membiarkan
    Anaknya menempuh Jalan Sesat!
    Dan ujung-ujungnya
    Sampai juga pesan utama:
    Joko pemuda santri ia perkenalkan
    Sangat cocok menjadi suami Dewi.
    Tekad Ayah bulat
    Niatnya pekat
    Albert harus dilupakan
    Karena Joko suami Dewi di masa depan.
    Tak sepatah kata terucap dari Dewi,
    Bibirnya terkunci.
    Gadis itu tertunduk, jiwanya berontak.
    Tapi pesan ayahnya? Tak bisa ditolak!
    Teringat ia akan masa kanak.
    Tinggal di sebuah rumah sederhana;
    Ayah kadang pulang larut.
    Waktu itulah ibunya suka bertitah,
    Lihatlah baik-baik, Nak,
    Kita bisa menikmati sore dan malam
    Tapi ayahmu masih mencari nafkah — berjibaku
    Kita ini bagaikan benalu!
    Jangan sekali-kali kaudurhakai
    Pohon perkasa, sandaran hidup kita,
    Jangan pernah kauganggu nurani ayahmu.
    Hidup Ayah lurus rus rus rus,
    Prinsip agamanya kuat wat wat wat –
    Kaku?
    Beku?
    Katanya pada suatu hari,
    Manusia diciptakan berpasangan;
    Walau pemuda itu baik padamu
    Tetapi ia lain agama.
    Itu artinya
    Ia bukan jodoh
    Yang dikirim Allah
    Untukmu!
    Sejak kecil ia tak boleh membantah Ayah
    Hidupnya selalu siap diperintah
    Walau kali ini permintaan Ayah berat
    Ia harus patuh bulat.
    Aku akan menikah dengan Joko
    Aku harus melupakan Albert
    Bisa ataupun tidak
    Aku harus bisa, gumam Dewi.
    /6/
    Dan Albert? Ia berbeda;
    Rumahnya di atas angin
    Baginya agama sama saja,
    Tetapi menghadapi Dewi harus panjang nalarnya.
    Benar, katanya kepada dirinya sendiri,
    Banyak orang tidak peduli
    Dan mereka ikuti saja kata hati,2
    Tapi Dewi bukan selebriti!
    Ia temui para ahli Kitab
    Dan diketahuinya, masing-masing punya sikap.
    Itu haram mutlak! kata salah seorang
    Sambil menunjukkan hukum yang jelas dan tegas.3
    Yang lain bersikap sebaliknya
    Berdasarkan alasan yang juga mengena.4
    Pemuda itu terbuka mata
    Tak ada keseragaman ternyata.
    Ada pandangan yang menutup pintu kawin beda agama,5
    Tapi ada juga pandangan lain yang menerima.6
    Wahai, apa makna semua?
    Apa peduliku?
    Mengapa aku harus tunduk pada aturan itu?
    Bukankah cinta lebih tua dari agama dan negara?
    /7/
    Namun Dewi tetaplah seorang santri
    Patuh pada orang tua adalah tradisi
    Cintanya pada Albert yang mendalam
    Sekuat tenaga ia benam.
    Joko itu ternyata cerdas dan santun,
    Siapa tahu hidup kami nanti bisa rukun.
    Pikirannya menerima lelaki itu
    Ingin dicobanya hidup baru.
    Tapi terhadap Joko mengapa hatinya seperti batu?
    Dewi diam terpaku.
    Mengapa pikiran dan hatinya tidak bersatu?
    Dewi mulai ragu.
    Albert selalu bergelora
    Mampu menggetarkannya sampai ke surga,
    Tapi Joko alim dan dingin
    Hatinya beku seperti patung lilin.
    Pernikahan pun berlangsung meriah
    Demi Ibu dan Ayah, aku pasrah,
    Akan kulupakan Albert, dan setia kepada suami,
    Demikian janji Dewi kepada dirinya sendiri.
    /8/
    Hari silih berganti, tahun datang beruntun,
    Keduanya menjalani hidup yang tertuntun,
    Joko pegawai negeri biasa
    Dewi karyawan perusahaan swasta;
    Hampir tak pernah mereka bertengkar,
    Kata orang keluarga Dewi tenang.
    Tapi kenapa hidupku ini hambar?
    Kenapa Eros cinta pada Joko tidak juga bertandang?
    Di benak Dewi bayangan Albert kerap melintas
    Dan rindunya memanas:
    Terbayang olehnya boncengan sepeda di pematang sawah,
    Terbayang sore yang lepas dan bunga merekah.
    Kepada malam yang sepi ia bertanya,
    Apakah gejolak cinta hanya datang satu kali saja
    Dan itu hanya untuk cinta remaja?
    Mengapa setelah menua
    Getaran cinta tak lagi ada?
    Mengapa rasa itu hanya mekar kepada Albert, pacar masa remaja?
    Mengapa tidak kepada Joko, suaminya?
    Malam yang sepi tak pernah menjawab pertanyaannya.
    Tapi Aku harus jadi Muslimah teladan
    Patuh pada suami,
    Taat pada orang tua,
    Dan bakti kepada agama.
    Itu harga mati, tandasnya.
    /9/
    Bertahun-tahun sudah mereka berkeluarga
    Tak juga lahir ada anak mereka;
    Wahai, Joko ternyata memiliki kelainan
    Ia tak bisa berketurunan.
    Beberapa kali ia jatuh sakit.
    Awalnya dianggap biasa saja
    Semua manusia lain mengalaminya:
    Sakit dan sehat seperti musim, datang dan pergi.
    Namun, di tahun kesembilan pernikahan
    Sakit Joko semakin berkepanjangan,
    Semakin parah –
    Tubuhnya tampak bertambah lemah.
    Sebagai istri yang berbakti
    Dewi memutuskan berhenti bekerja
    Agar bisa merawat suami
    Dan tinggal di rumah saja.
    Tak putus-putus juga Dewi berdoa
    Agar Joko kembali seperti sedia kala;
    Meski ia sadar sepenuhnya
    Bahwa itu bakti semata, bukan rasa cinta.
    Dan hari itu pun tiba juga akhirnya!
    Vonis dokter: Joko tak bisa bertahan lebih lama.
    Dewi pun mendadak merasa bersalah
    Mengapa di lubuk hatinya tetap ada masalah.
    Dan ketika suaminya harus pergi
    Untuk menjumpai Khalik,
    Suatu malam Dewi bertahajud.
    Jiwanya menangis, pikirannya ngelangut.
    Ya Allah, ampunilah aku.
    Segala cara telah kutempuh
    Segala tenaga telah tercurah
    Agar bisa menjadi
    Istri yang baik, istri yang setia,
    Tetapi mengapa tak kunjung terbit
    Nafsu cintaku kepadanya?
    Mengapa justru Albert yang selalu ada
    Di pelupuk mata?
    Ya Allah, aku telah gagal jatuh cinta
    Kepada suamiku sendiri!
    /10/
    Setahun sudah Dewi menjanda,
    Ia mulai banyak membaca.
    Hidup sebatang kara memaksanya menjadi baja
    Ia sudah kembali bekerja.
    Ia mulai lepas dari tradisi
    Dihayatinya hidup yang mandiri
    Filsafat dan sastra membentuk dirinya,
    Ia bukan Dewi yang dulu lagi.
    Suatu ketika
    Ia punya niat ke kampus
    Untuk melepas rindu
    Masa-masa mahasiswinya dulu.
    Ia duduk di taman yang dulu juga.
    Suasana sudah berubah
    Tetapi ada yang masih tinggal –
    Masih bisa dihirupnya.
    Bangku yang itu juga
    Sudah berubah warna.
    Di situ ia dulu masih sempat ketemu Albert
    Sebelum hari pernikahan, sepuluh tahun lalu.
    Saat itu senja mulai gelap
    Mereka sadar segera harus berpisah;
    Di pojok taman itu
    Sambil berjalan Albert berkata,
    Jika kautinggalkan aku
    Karena tak lagi mencintaiku,
    Aku pasrah.
    Jika kau menikah dengan lelaki lain
    Karena kamu mencintainya,
    Aku terima.
    Tapi aku tahu, Dewi,
    Bukan itu alasanmu meninggalkanku.
    Kauhancurkan cinta kita
    Demi baktimu kepada ayahmu.
    Demi baktimu pada tafsir agama!
    Ia ingat magrib di taman itu.
    Ia menangis tanpa suara.
    Tak ada lagi yang bisa diusahakan:
    Albert harus merelakan perpisahan.
    Sebelum berpisah Albert menyerahkan
    Sekuntum mawar.
    Di pikirannya kata-kata itu masih melekat
    Yang kadang bisa membuat hari-harinya pekat.
    Dewi, simpanlah mawar segar ini.
    Pada waktunya nanti
    Ia akan kering dan layu;
    Apa yang akan terjadi
    Tak akan bisa diduga
    Kecuali nasib bunga ini.
    Kita tak tahu masa depan.
    Jika ternyata kau memang jodohku
    Dan kelak telah siap untuk bersatu denganku,
    Kirimlah bunga ini sebagai isyarat;
    Aku akan segera menghampirimu –
    Ini janjiku.
    Aku percaya dalam hidup
    manusia jatuh cinta hanya sekali saja
    Cintaku sudah tunai untukmu.
    Dewi tidak bisa lain
    Kecuali diam saja,
    Dan sambil menundukkan kepala
    Ia bertanya apakah Albert akan menikah juga.
    Aku akan menikah dengan petualanganku –
    Gunung-gunung tinggi akan kutaklukkan
    Akan kujelajahi bumi yang diciptakan-Nya
    Dan akan kusampaikan pertanyaanku
    Di puncak setiap gunung yang kudaki,
    Tuhan, mengapa tak Kau-restui cintaku
    Kepada sesama ciptaan-Mu
    Hanya karena, ya Allah,
    Hanya karena agama kami beda?
    Padahal Kau jugalah yang menurunkannya.
    Tersekat tangis Dewi, dibawanya mawar itu,
    Disimpannya dalam sebuah kotak
    Yang akan menjaga rahasia abadi
    Cintanya kepada seorang laki-laki.
    Cinta sejatinya.
    Cinta hatinya.
    Ya, Tuhan, perkenankan aku menikah;
    Bimbinglah aku agar setia pada suami
    Dan jangan biarkan aku
    Membuka kotak ini lagi.
    /11/
    Namun, apa yang tak berubah
    Di bawah langit?
    Pada suatu hari dibukanya juga
    Kotak itu: benar, mawar itu kering dan layu.
    Tapi masih diciumnya wangi baunya.
    Seperti gemetar mawar layu itu di tangannya,
    Ke mana gerangan hidup ini mengarah?
    Muncul kembali bayangan yang sudah jadi arwah.
    Di seberang jendela: langit tak ada batasnya
    Awan masih tetap berkelana.
    Kali ini biar kuturuti saja suara hati
    Tiba sudah saatnya, berbakti kepada diri sendiri.
    Ya, Allah, telah kuikuti lurus ajaran-Mu
    Seturut tafsir orang tuaku;
    Ayah dan Ibu, telah kuikuti pula keinginanmu
    Menikah dengan lelaki yang bukan pilihanku;
    Suamiku, telah kucoba melayanimu
    Setia padamu sampai akhir hayatmu.
    Kini tiba giliranku
    Menjadi tuan bagi diri sendiri –
    Izinkan aku mengikuti suara jiwaku,
    Hanya tunduk pada titah batinku.
    Dipandangnya lagi mawar kering itu.
    Sudah tetap niatnya:
    Akan disampaikannya kembali ke pemiliknya
    Secepatnya. Ia pasti masih menunggu, pikirnya.
    Langit tetap yang itu juga
    Yang dulu mendengar janji kekasihnya:
    Kapan pun bunga itu dikirim kembali
    Lelaki itu akan siap menerimanya lagi.
    Menakjubkan: cinta ternyata terus bertahan
    Melampaui masa dan berbagai perbedaan;
    Pernikahan boleh dibatalkan
    Tetapi meski di dalam sekam, cinta tak padam.
    Kepada Ayah dan Ibu Dewi sampaikan niatnya
    Untuk kembali ke cinta lamanya.
    Tapi apa kata mereka berdua?
    Lebih baik menjanda daripada kawin beda agama!
    /12/
    Namun, sekarang ini Dewi berbeda,
    Ia tetap sayang orang tua
    Ia tetap saleh soal agama.
    Tapi sikap hidup? Kini ia tegak pada pendiriannya.
    Ayah menghalanginya sekuat tenaga,
    Menikah beda agama hanya mengirimmu ke neraka!
    Jawab Dewi, Ayah ini zaman Facebook dan Twitter
    Bukan era Siti Nurbaya!
    Dunia sudah berubah
    Bukan manusia untuk agama
    Tapi agama untuk manusia
    Bagi Ayah, beda agama itu masalah.
    Bagiku tidak!
    Ayah memang merawat fisikku sejak kecil.
    Tapi jalan hidupku bukan punya Ayah!
    Ayah terkaget alang-kepalang.
    Dewi yang patuh sudah tiada,
    Di hadapannya berdiri Dewi yang berbeda
    Betapa dunia memang sudah berubah.
    Hati Dewi sudah bulat
    Cintanya pada Albert memanggilnya kembali;
    Terbayang era bocah
    Ia menemani Albert bermain layang layang di sawah.
    Maka diposkannya bunga itu ke alamat kekasihnya.
    Hari berganti hari, pekan berganti pekan,
    Dewi tertegun: mengapa tak kunjung ada jawaban?
    Ya, ya, apakah janji sudah dilupakan?
    Tibalah juga sore tak terduga itu:
    Seorang ibu tua mengetuk pintu,
    Dan ketika dibuka,
    Astaga! Ibunya Albert rupanya.
    Dipeluknya Dewi, disampaikannya berita itu.
    Sejak kamu menikah,
    Albert tak betah lagi di rumah.
    Didakinya gunung demi gunung
    Entah di negeri mana –
    Seperti ada yang ingin dicarinya
    Seperti ada yang ingin diprotesnya.
    Dan setahun lalu aku mendapat berita
    Albert, anakku laki-laki itu
    Tak akan pulang kembali –
    Ia meninggal di sebuah gunung
    Dan dimakamkan di sana.
    Suara perempuan tua itu terbata-bata
    Tapi kuasa menahan air matanya.
    Dan Dewi? Ia menjerit sekuat-kuatnya
    Sambil memeluk ibu tua itu.
    Ada pesannya, sambung ibu Albert,
    Sebelum pendakiannya yang terakhir
    Albert menitip surat
    Yang hanya boleh disampaikan
    Kalau kuntum mawar sudah kaukirimkan.
    Tak sabar dengan tangan gemetar
    Dibukanya surat itu,
    Masih dikenalinya tulisan tangan Albert –
    Tetap seperti dulu.
    Dewi, tulis Albert,
    Mungkin sudah kaukirim kembali
    Bunga kering itu sekarang.
    Tapi yang akan kauterima
    Hanya surat ini.
    Aku tak berniat mengingkari janji!
    Aku sekarang mungkin di alam lain
    Dan janjiku tetap seperti dulu:
    Cintaku hanya untukmu
    Yang tak sampai hanya karena kita beda agama.
    Dipeluknya surat itu
    Diciumnya hingga basah oleh air mata
    Hatinya menjerit
    Melolong sampai jauh, jauh sekali…
    ***
    1. Pandangan ini didasarkan pada ayat-ayat al-Quran: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221). Dan ayat: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
    2. Banyak pasangan selebriti yang menikah secara beda agama seperti Katon Bagaskara dan Ira Wibowo, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen, Jamal Mirdad dan Lydia Kandau, Yuni Shara dan Henri Siahaan (sudah bercerai), Glenn Fredly dan Dewi Sandra (sudah bercerai), Dedi Kobusher dan Kalina, Frans dan Amara, Sony Lauwany dan Cornelia Aghata.
    3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 menetapkan bahwa perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah haram hukumnya.
    4. Ada keterangan bahwa Nabi Muhammad pernah menikah dengan Maria Qibtiyah, seorang perempuan beragama Kristen Koptik Mesir dan Sophia yang beragama Yahudi. Para sahabat seperti Usman bin Affan menikah dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah menikah dengan perempuan Yahudi di Madian. Para sahabat lain, seperti Ibn Abbas, Jabir, Ka’ab bin Malik, dan Al-Mughirah bin Syu’bah juga menikah dengan perempuan-perempuan ahli kitab. Keterangan ini disampaikan oleh Prof. Musdah Mulia, Prof. Kautsar Azhari Noer, dan Prof. Zainun Kamal dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar Yayasan Paramadina pada 17 Oktober 2003, lihat laporannya “Tafsir Baru atas Nikah Beda Agama” dalam http://icrp-online.org/082008/post-17.html.
    5. Hukum pernikahan di Indonesia diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Dalam Pasal 2 ayat 1 UUP dinyatakan: “(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Untuk melindungi hak dan kewajiban suami-istri, perkawinan harus dicatat oleh lembaga yang berwenang. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP No 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 2 PP No. 9/1975 disebutkan, apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat dari Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (KCS).
    6. Pernikahan artis Katon Bagaskara (Kristen) dan Ira Wibowo (Muslim) dianggap sah secara hukum positif. Dan bisa memperoleh surat keterangan dari Kantor Catatan Sipil. Pasangan selebriti lainnya Ari Sihasale (Katolik) dan Nia Zulkarnaen (Islam) menikah di Perth, Australia. Pernikahan mereka disahkan oleh petugas Department of Birth, Date and Marriage Perth, setara dengan Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Ketika mereka melaporkan perkawinannya ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia ternyata perkawinan mereka juga dianggap sah. Petugas di KCS mengatakan bahwa apa yang dilakukan Ari dan Nia tidak melanggar undang-undang, dan telah diatur dalam Pasal 56 Ayat (1) UU Perkawinan: “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara 2 orang WNI atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan UU ini”. Lihat, “Nia-Ale Menikah di Kebun Bunga Nan Indah”, http://nostalgia.tabloidnova.com/
      articles.asp?id=2446

0 komentar:

Sora Karista. Diberdayakan oleh Blogger.